Tidak bisa dipungkiri bahwa penulisan sejarah dan
analisis kebudayaan tentang negeri kita didominiasi oleh penulis luar,
khususnya Eropa (bisa dicek dalam berbagai buku tentang bangsa kita dari
berbagai penerbit). Penelitian tersebut sudah dimulai dari orang-orang eropa
sejak berabda-abad yang lalu. Barangkali ketika kesadaran tentang kekayaan
historis dan kultur bangsa kita belum disadari oleh penduduknya sendiri.
Berbagai negara mengirim para peneliti untuk
melaporkan segala hal tentang bangsa kita di berbagai daerah. Pengutusan
tersebut dilakukan secara resmi dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Para peneliti mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk mempersembahkan
informasi tentang daerah penelitian mereka kepada bangsanya sebagai bentuk
pengabdian.
Meskipun sesungguhnya masih banyak manuskrip
sejarah Nusantara yang tidak dipublikasikan karena faktor politik. Para ahli
sejarah bangsa tentu menyayangkan hal tersebut. Meski barangkali disisi lain juga
gemas dengan rakyat Indonesia yang tidak punya perhatian besar terhadap
sejarah. Kurangnya perhatian tersebut menjadikan para ahli sejarah seolah tidak
mendapat dukungan untuk mengungkap lebih banyak lagi data-data dan rahasia
nusantara yang selama ini belum terungkap.
Di sisi lain kita harus berterima kasih pada
orang-orang Eropa yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk meneliti
Nusantara. Meski sesungguhnya penelitian tersebut dilakukan dalam rangka tugas
negara dan tidak dipersembahkan untuk bangsa kita. Akan tetapi, disisi lain
kita juga harus “geram” dengan penelitian yang berpotensi tidak netral dan
tidak faktual.
Kita tidak punya keyakinan secara utuh terhadap
penelitian mereka tentang bangsa kita. Ada potensi tendensi politik yang
dibawa. Hal tersebut diungkapkan oleh Denys Lombart, penulis Prancis yang
mengatakan bahwa peneliti-peneliti utusan negara berpotensi membawa urusan
politik untuk menguatkan sebuah pandangan tentang sebuah daerah atau
membuyarkan pandangan tersebut dengan pandangan baru.
“Lagi pula Snouck Hurgronje tidak menyembunyikan
tujuannya yang dijelaskan terus terang dalam kata pengantarnya. Maksudnya
supaya hapuslah pandangan baik yang mungkin bisa timbul dalam benak orang Eropa
mengenai “negara perompak laut sejak dulu” itu (Aceh); maksudnya supaya bukunya
bisa membenarkan politik yang dijalankan Negeri Belanda.” (Denys Lombart, Kerajaan
Aceh {Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)}, KPG, Cetakan ke-IV, Desember
2014).
Sekali lagi, sesungguhnya kita harus berterima
kasih atas berbagai data peneliti dari bangsa lain dalam penelitian yang mereka
lakukan. Dan juga geram dengan penyalahan sejarah yang dilakukan dengan sadar
oleh para peneliti tersebut.
Sayangnya kita sendiri tidak punya banyak wakil
penulis sejarah yang mumpuni untuk membuka mata kita tentang betapa hebat dan
fantastisnya bangsa kita. Oh, atau barangkali karena keingintahuan kita yang
rendah pada sejarah bangsa kita sendiri sampai-sampai orang Indonesia malas
jadi peneliti sejarah?
Salam
Di perpustakaan Leiden, Belanda, ada beberapa
lantai atas yang disinyalir menyimpan banyak data dan menuskrip Nusantara. Juga curigai
ada tulisan-tulisan tokoh bangsa yang dicuri dan dirampas oleh para koloni
Belanda pada zaman penjajahan. Sayangnya hanya orang-orang khusus yang boleh memasuki ruangan tersebut, orang
Indonesia tidak diperkenankan! Sayang sekali.